Jaton Yon..Peradaban Muslim Jawa Tondano Di Tanah Minahasa

Oleh ReO Fiksiwan

ODCNews

Minahasa – “Niyaku Toudano,” begitu mendiang Prof. Drs. Tumenggung Zees — antroplog lulusan UI dan guru besar Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Unsrat dulu) — menuliskan otobiografi budayanya dan kelak disunting oleh dua antropolog yang juga muridnya, Alex John Ulaen dan Nasrun Sandiah.

Kiranya, catatan-catatan bahkan sebagian hasil risetnya dalam buku ini hendak menegaskan genealogi identitas sub-etnik Jawa Tondano Minahasa yang dikenal Touselam(Jaton).

Kemudian, dalam tesis sejarawan FIB Unsrat, Roger Kembuan MHum di paska sarjana UGM ditemukan identitas toponim komunitas ini dengan sebutan yang kurang dikukuhkan: Touselam(baca: Tou Islam).

Penamaan asal-usul(toponim) itu, tentu terkait dengan identitas yang tersemat pada beberapa subetnik lainnya dan bersesuaian dengan pesebaran dan bahasanya.

Di antaranya: Toulour(Toudano), Tousea(Tonsea), Toubulu(Tombulu), Tousawang(Tonsawang), Toutemboan(Totemboan) menyusul tanpa “Tou”(baca: Manusia) Ponosakan dan Ratahan.

Untuk identitas-identitas ini, kontrolir Dr. L. Adam telah menguraikannya dalam “Adatrecht van Minahassische Volk”(1925) sesuai dengan bahasa yang mereka pakai.

Meski tidak menjadi populer dilekatkan pada identitas Jawa Tondano(Jaton), terkait Touselam, faktanya Kiai Mojo bersama 62 rombongannya — setelah dipindahkan dari Ambon pada 1829 menyusul ditawannya Pangeran Diponegoro di Manado(Fort Nieuw Amsterdam) pada 1830 — ikut melakukan konversi dengan keke-keke Tondano, di antaranya Rumbayan dan Worenga.

Konversi ini bukanlah suatu keniscayaan bagi pembentukan identitas baru bagi kultur kemajemukan subetnik Minahasa pada umumnya.

Karna di saat bersamaan, zendling F. G. Riedel ikut mengonversi subetnik Tondano dalam Kekristenan(Christendom) melalui Nederland Zendeling Genoschaft(NZG) yang dipimpin oleh Josef Kam ketika itu di Rotterdam.

Bahkan menurut cacatan zendling Nicolaas Graafland pada 1869, telah berlangsung dialog antara Kiyai Mojo dan zendling Riedel.

Selain itu, di era zendling Lammers pada 1830, ada permintaan penginjilan di Bolaang Mongondow atas permohonan raja di sana, namun ditolak otoritas NZG di keresidenan Manado era Residen Daniel Francois Pietermaat.

Dengan kata lain, hanya Riedel lah yang berhasil melakukan konversi massal di Tondano hingga mencapai lebih duaribu orang(lihat Vlekke,1943).

Beralih menjadi penganut Kristen, mereka menanggalkan kepercayaan lama agama suku yang suka dijuluki agama alifuru(alfoeren).

 

Sementara Kiai Mojo dan pengikutnya, terbukti hingga hari ini, konversi Touselam tidak bersifat masif.

Malah bersifat sangat terbatas di lokasi mereka(Jaton) dan sebagian kecil bermigrasi ke Gorontalo(kini, kampung Josonegoro). Dan tradisi yang cukup lekat untuk menandai salah satu identitas mereka, lebaran ketupat dan pertanian sawah.

Untuk itu, tak cukup alasan untuk menafikan sejarah Touselam itu dalam pertumbuhan sejarah tradisi dan budaya di Minahasa.

Sebagai petunjuk identitas jamak(plural) di Minahasa, sejarah komunitas Touselam(Jaton), justru sangat menguatkan kohesi sosial budaya kemasyarakatan Minahasa pada umumnya.

Sebagai penanda identitas jamak itu, Tou Minahasa umumnya akan jadi rujukan sofistifikasi kultural yang nyaris tidak dimiliki entik-etnik lain di Nusantara.

Karna itu, tak hanya Islam yang bisa mengkleim sebagai “Islam Nusantara” sebagaimana telah ditunjukkan oleh komunitas Jaton. Tapi, Kristen Nusantara pun jadi penanda dan predikat denominasi kultur universal komunitas Minahasa seumumnya. “

“Niyaku Tondano,” pada akhirnya adalah suatu semiotik unifikasi kearifan lokal bagi kejamakan kultur lokal yang inheren, dinamis dan aktual. (***)